Pulau
kelapa yang amat subur
Pulau
melati pujaan bangsa
Sejak
dulu kala
Reff:
Melambai
lambai
Nyiur
di pantai
Berbisik
bisik
Raja
Kelana
Diatas adalah penggalan lagu “Rayuan Pulau
Kelapa” karya Ismail Marzuki yang menceritakan cinta mati seseorang akan
keindahan pulau – pulau di Indonesia. Negeri yang di ceritakan memiliki
keindahan pantai yang membius mata serta tertutup oleh rimbunnya pohon kelapa,
seolah mempertegas negeri tropis yang dimaksud itu adalah secuil tetesan surga
di dunia. Tetapi apa sih kaitan antara pulau Selayar dengan lagu “Rayuan Pulau
Kelapa” itu? Oke aku akan menceritakan dari awal.
Semua
itu bermula dari hobiku yang suka mengamati pulau-pulau kecil di google earth.
Maklum karena saya memang begitu menyukai melihat foto-foto panoramio yang ada di google earth.
Akhirnya mata saya tertuju pada sebuah pulau di ujung selatan Pulau Sulawesi.
SELAYAR, begitu mendengar nama pulau ini aku pun membayangkan pulau dengan
semangat bahari yang cukup kuat, sampai-sampai nama pulau ini mengambil nama
dari bagian kapal tradisional. Setelah mencoba mencari tahu tentang cerita
Pulau ini, akhirnya tahun 2012 aku putuskan untuk mengunjungi pulau Selayar
yang terletak di Sulawesi Selatan. Awalnya sedikit ragu karena jarang sekali
blog traveling yang menulis tentang destinasi ke pulau ini. Namun berbekal
informasi dari website dinas Pariwisata Selayar dan dari teman-teman Makassar
Diver, akhirnya aku memutuskan menggunakan jalur darat untuk mengunjungi
Selayar.
Ternyata
pulau ini adalah satu-satunya pulau yang memiliki kabupaten sendiri yaitu
kabupaten Selayar dengan ibukotanya Benteng yang terletak di sebelah barat
pulau Selayar. Di ujung kota Benteng ini kita bisa melihat pulau Pasi Gusung
yang berjarak kurang lebih 1 KM. Namun tidak seperti Taman Nasional Taka
Bonerate yang sebenarnya masih bagian dari wilayah Kabupaten Selayar. TN Taka
Bonerate justru lebih banyak di kenal daripada pulau Selayar itu sendiri,
terlebih lagi dengan adanya event tahunan “Sail Taka Bonerate”. Karenanya ketika
aku memutuskan untuk mengunjungi pulau ini, ada beberapa teman yang berkomentar
“kenapa ga sekalian ke Taka Bonerate”. Tidak heran karena memang Selayar di
apit dua destinasi yang cukup ramah di telinga turis, yaitu Tanjung Bira di
sebelah utara dan TN Taka Bonerate di sebelah timur. Namun masalahnya, kalau
ingin mengunjungi TN Taka Bonerate tidak cukup hanya dengan waktu seminggu,
terlebih lagi kalau kita mengambil jalur darat dari kota Makassar.
Menuju
ke kota Benteng Selayar ternyata tidaklah sulit. Setiap pagi sekitar pukul
08.00 waktu Makassar, kita bisa menggunakan Bus tujuan Benteng Selayar dari terminal
Malengkeri Makassar dengan biaya Rp.100.000,- per kepala. Atau kita bisa naik
angkutan umum kecil yang biasa di sebut pete-pete dengan biaya sekitar Rp.
50.000,- perkepala, tapi angkutan ini hanya sampai ke pelabuhan Bulukumba di
Bira, dan selanjutnya dapat menumpang di bus – bus yang ada di pelabuhan. Di kota
Benteng terdapat lumayan banyak penginapan, dari yang sekelas resort sampai
dengan homestay. Untuk tempat menginap saya memilih homestay yang terletak di
sebelah kafe “Tempat Biasa”. Kafe ini punya fasilitas wifi dan dengan harga
makanan yang cukup terjangkau, namun kelebihan dari kafe ini di jadikan tempat
berkumpulnya aktivis lingkungan dan penyelam di Selayar. Jadi akan banyak hal
yang bisa di bicarakan jika bertemu dengan teman-teman SSD (Sileya Scuba Diver)
di kafe ini.
Pengerajin parang di Selayar |
Salah satu sudut di pantai Pa'badilang |
Bekas benteng pejuang kemerdekaan di pantai Pa'badilang |
Goa Tajuia, dulu digunakan masyarakat setempat untuk mengambil air |
Pantai Baloiya saat sunset |
Pagi hari terbangun dari mimpi setelah capai dari perjalanan panjang Makassar – Benteng dengan waktu 6 jam perjalanan. Akhirnya udara pagi di Selayar benar-benar mengobati rasa capai yang luar biasa itu. Bersama mas Ridho aku diajak mengelilingi Selayar menggunakan motor. Sungguh luar biasa, di kanan kiri, bahkan sejauh mata memandang terhampar perkebunan kelapa yang sangat luas. Bahkan sampai di lereng-lereng perbukitanpun hanya pohon kelapa yang menghiasi. Ternyata Kabupaten Selayar adalah daerah penghasil kopra terbaik di Indonesia, sedangkan yang memiliki profesi sebagai nelayan hanya sebagian kecil saja, dan itupun tersebar di pulau-pulau yang lainnya. Perpaduan alam antara pantai yang cantik yang bertemu dengan hutan kelapa seakan menarik memoriku tenggelam lebih dalam pada syair lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki. Memang hampir di setiap kepulauan di Indonesia banyak sekali pohon kelapa, tapi Selayar benar-benar beda. Pohon kelapa dimana-mana dan pantainya yang membius mata seakan hati ini enggan untuk meninggalkan Selayar.
Meriam kuno bekas pelaut-pelaut ulung banyak ditemukan di pulau ini. |
Gong Nekara tipe Hegar, peninggalan era kerajaan Dongson di Vietnam juga di temukan di Selayar |
Pulau Selayar
memiliki sejarah yang menarik. Menurut pak Sharben nama pulau Selayar karena
dahulu masyarakat bugis dari Bira sudah terbiasa menyeberangi lautan menuju
pulau ini hanya menggunakan perahu dengan satu layar. Oleh karena banyaknya
perahu dengan satu layar di pulau ini akhirnya masyarakat setempat terbiasanya
menyebut pulau ini dengan Selayar. Namun yang lebih menarik lagi tentang posisi
pulau ini di jaman kerajaan Majapahit. Ternyata di pulau ini tercatat di dalam
Kitab Negarakertagama abad ke 14 dengan sebutan cedaya yang menggunakan bahasa sansekerta bermakna “satu layar”.
Selain itu posisi strategis pulau yang memanjang dari Utara ke Selatan
menjadikan pulau ini sebagai tempat persinggahan terbaik pelaut-pelaut jaman
dahulu yang masih bergantung kepada arah angin. Karenanya tidak heran di pulau
ini banyak rumah-rumah warga yang di hiasi dengan meriam kuno peninggalan jaman
dulu. Temuan yang tak kalah uniknya ada di kecamatan Bontoharu berupa Gong
Nekara yang terbuat dari perunggu dengan hiasan-hiasan gambar hewan seperti
gajah, bangau, ikan dan patung kodok. Hasil pengamatan dari googling menunjukan
kalau Gong tersebut berasal dari era perunggu pada jaman kerajaan Dongson yang berpusat di sungai merah
Vietnam kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi. Para pakar budaya Dongson pun masih belum menemukan
kejelasan secara pasti fungsi dari gong tersebut, namun kebanyakan gong
tersebut ditemukan terkubur di dekat area makam. Gong yang di temukan di
Selayar adalah tipe Hegar karena bentuknya besar, namun ada pula Gong tipe moko
dengan bentuk yang lebih kecil yang di temukan di kepulauan Alor. Dengan
melihat sendiri Gong Nekara tersebut di Selayar, aku semakin bertanya-tanya
tentang kebenaran cerita Sejarah negeriku ini. Selama ini yang kita dapat dari
bangku pelajaran sekolah, bahwa Indonesia masuk jaman sejarah sekitar abad ke 6
Masehi di tandai dengan datanganya budaya dari India yang mengajarkan baca
tulis di negeri ini. Namun melihat benang merah sejarah di kepulauan Selayar,
aku jadi semakin pening memikirkan bagaimana sejarah kita yang sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar