Minggu, 14 April 2013




Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala

Reff:

Melambai lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana

Diatas adalah penggalan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki yang menceritakan cinta mati seseorang akan keindahan pulau – pulau di Indonesia. Negeri yang di ceritakan memiliki keindahan pantai yang membius mata serta tertutup oleh rimbunnya pohon kelapa, seolah mempertegas negeri tropis yang dimaksud itu adalah secuil tetesan surga di dunia. Tetapi apa sih kaitan antara pulau Selayar dengan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” itu? Oke aku akan menceritakan dari awal.

Semua itu bermula dari hobiku yang suka mengamati pulau-pulau kecil di google earth. Maklum karena saya memang begitu menyukai melihat foto-foto panoramio yang ada di google earth. Akhirnya mata saya tertuju pada sebuah pulau di ujung selatan Pulau Sulawesi. SELAYAR, begitu mendengar nama pulau ini aku pun membayangkan pulau dengan semangat bahari yang cukup kuat, sampai-sampai nama pulau ini mengambil nama dari bagian kapal tradisional. Setelah mencoba mencari tahu tentang cerita Pulau ini, akhirnya tahun 2012 aku putuskan untuk mengunjungi pulau Selayar yang terletak di Sulawesi Selatan. Awalnya sedikit ragu karena jarang sekali blog traveling yang menulis tentang destinasi ke pulau ini. Namun berbekal informasi dari website dinas Pariwisata Selayar dan dari teman-teman Makassar Diver, akhirnya aku memutuskan menggunakan jalur darat untuk mengunjungi Selayar.  
Pohon kelapa tersebar di mana-mana
Ternyata pulau ini adalah satu-satunya pulau yang memiliki kabupaten sendiri yaitu kabupaten Selayar dengan ibukotanya Benteng yang terletak di sebelah barat pulau Selayar. Di ujung kota Benteng ini kita bisa melihat pulau Pasi Gusung yang berjarak kurang lebih 1 KM. Namun tidak seperti Taman Nasional Taka Bonerate yang sebenarnya masih bagian dari wilayah Kabupaten Selayar. TN Taka Bonerate justru lebih banyak di kenal daripada pulau Selayar itu sendiri, terlebih lagi dengan adanya event tahunan “Sail Taka Bonerate”. Karenanya ketika aku memutuskan untuk mengunjungi pulau ini, ada beberapa teman yang berkomentar “kenapa ga sekalian ke Taka Bonerate”. Tidak heran karena memang Selayar di apit dua destinasi yang cukup ramah di telinga turis, yaitu Tanjung Bira di sebelah utara dan TN Taka Bonerate di sebelah timur. Namun masalahnya, kalau ingin mengunjungi TN Taka Bonerate tidak cukup hanya dengan waktu seminggu, terlebih lagi kalau kita mengambil jalur darat dari kota Makassar.

Menuju ke kota Benteng Selayar ternyata tidaklah sulit. Setiap pagi sekitar pukul 08.00 waktu Makassar, kita bisa menggunakan Bus tujuan Benteng Selayar dari terminal Malengkeri Makassar dengan biaya Rp.100.000,- per kepala. Atau kita bisa naik angkutan umum kecil yang biasa di sebut pete-pete dengan biaya sekitar Rp. 50.000,- perkepala, tapi angkutan ini hanya sampai ke pelabuhan Bulukumba di Bira, dan selanjutnya dapat menumpang di bus – bus yang ada di pelabuhan. Di kota Benteng terdapat lumayan banyak penginapan, dari yang sekelas resort sampai dengan homestay. Untuk tempat menginap saya memilih homestay yang terletak di sebelah kafe “Tempat Biasa”. Kafe ini punya fasilitas wifi dan dengan harga makanan yang cukup terjangkau, namun kelebihan dari kafe ini di jadikan tempat berkumpulnya aktivis lingkungan dan penyelam di Selayar. Jadi akan banyak hal yang bisa di bicarakan jika bertemu dengan teman-teman SSD (Sileya Scuba Diver) di kafe ini. 

Pengerajin parang di Selayar
Salah satu sudut di pantai Pa'badilang
Bekas benteng pejuang kemerdekaan di pantai Pa'badilang
Goa Tajuia, dulu digunakan masyarakat setempat untuk mengambil air

Pantai Baloiya saat sunset

Pagi hari terbangun dari mimpi setelah capai dari perjalanan panjang Makassar – Benteng dengan waktu 6 jam perjalanan. Akhirnya udara pagi di Selayar benar-benar mengobati rasa capai yang luar biasa itu. Bersama mas Ridho aku diajak mengelilingi Selayar menggunakan motor. Sungguh luar biasa, di kanan kiri, bahkan sejauh mata memandang terhampar perkebunan kelapa yang sangat luas. Bahkan sampai di lereng-lereng perbukitanpun hanya pohon kelapa yang menghiasi. Ternyata Kabupaten Selayar adalah daerah penghasil kopra terbaik di Indonesia, sedangkan yang memiliki profesi sebagai nelayan hanya sebagian kecil saja, dan itupun tersebar di pulau-pulau yang lainnya. Perpaduan alam antara pantai yang cantik yang bertemu dengan hutan kelapa seakan menarik memoriku tenggelam lebih dalam pada syair lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki. Memang hampir di setiap kepulauan di Indonesia banyak sekali pohon kelapa, tapi Selayar benar-benar beda. Pohon kelapa dimana-mana dan pantainya yang membius mata seakan hati ini enggan untuk meninggalkan Selayar.

Meriam kuno bekas pelaut-pelaut ulung banyak ditemukan di pulau ini. 

Gong Nekara tipe Hegar, peninggalan era kerajaan Dongson di Vietnam juga di temukan di Selayar

Pulau Selayar memiliki sejarah yang menarik. Menurut pak Sharben nama pulau Selayar karena dahulu masyarakat bugis dari Bira sudah terbiasa menyeberangi lautan menuju pulau ini hanya menggunakan perahu dengan satu layar. Oleh karena banyaknya perahu dengan satu layar di pulau ini akhirnya masyarakat setempat terbiasanya menyebut pulau ini dengan Selayar. Namun yang lebih menarik lagi tentang posisi pulau ini di jaman kerajaan Majapahit. Ternyata di pulau ini tercatat di dalam Kitab Negarakertagama abad ke 14 dengan sebutan cedaya yang menggunakan bahasa sansekerta bermakna “satu layar”. Selain itu posisi strategis pulau yang memanjang dari Utara ke Selatan menjadikan pulau ini sebagai tempat persinggahan terbaik pelaut-pelaut jaman dahulu yang masih bergantung kepada arah angin. Karenanya tidak heran di pulau ini banyak rumah-rumah warga yang di hiasi dengan meriam kuno peninggalan jaman dulu. Temuan yang tak kalah uniknya ada di kecamatan Bontoharu berupa Gong Nekara yang terbuat dari perunggu dengan hiasan-hiasan gambar hewan seperti gajah, bangau, ikan dan patung kodok. Hasil pengamatan dari googling menunjukan kalau Gong tersebut berasal dari era perunggu pada jaman kerajaan Dongson yang berpusat di sungai merah Vietnam kurang lebih 2000 tahun sebelum masehi. Para pakar budaya Dongson pun masih belum menemukan kejelasan secara pasti fungsi dari gong tersebut, namun kebanyakan gong tersebut ditemukan terkubur di dekat area makam. Gong yang di temukan di Selayar adalah tipe Hegar karena bentuknya besar, namun ada pula Gong tipe moko dengan bentuk yang lebih kecil yang di temukan di kepulauan Alor. Dengan melihat sendiri Gong Nekara tersebut di Selayar, aku semakin bertanya-tanya tentang kebenaran cerita Sejarah negeriku ini. Selama ini yang kita dapat dari bangku pelajaran sekolah, bahwa Indonesia masuk jaman sejarah sekitar abad ke 6 Masehi di tandai dengan datanganya budaya dari India yang mengajarkan baca tulis di negeri ini. Namun melihat benang merah sejarah di kepulauan Selayar, aku jadi semakin pening memikirkan bagaimana sejarah kita yang sebenarnya.
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar