Rabu, 09 Oktober 2013




Meski pernah mengunjungi Pulau Selayar, tapi baru di bulan Juni tahun 2013 aku baru mencoba untuk bermain-main di Tanjung Bira Sulawesi Selatan, tepatnya masuk di Kabupaten Bulukumba. Sebenarnya Tanjung Bira lebih terkenal daripada Selayar kalau untuk urusan wisatanya, namun kunjunganku ke tempat ini justru kebalikannya. Oke langsung to the point yah, awalnya tujuan main-main ke Tanjung Bira ini karena ada paket promo salah satu maskapai dari Surabaya ke Makassar. Nah tanpa komando, rekan-rekan dari komunitas scubadivingsurabaya.com (SDS) tiba-tiba banyak yang membeli tiket Surabaya – Makassar  pulang pergi (PP) tanpa perencanaan mau kemana-kemananya. Setelah itu baru ribut-ribut cari spot diving yang menarik. Setelah melalui proses pemikiran yang panjang, akhirnya kita memutuskan trip ini hanya menyelam di tanjung Bira saja.




Menuju Tanjung Bira tidaklah sulit. Dari Makasar kita bisa naik bus dari terminal Malengkeri tujuan Makasar - Selayar dan turun di Tanjung Bira, atau kita bisa juga menaiki angkutan umum yang biasa di sebut "pete-pete"dengan harga yang tidak terpaut jauh dengan bus. Perjalanan dari Makasar menuju Tanjung Bira memakan waktu kurang lebih 5-6 jam perjalanan dikarenakan ada sebagian jalan yang masih dalam proses pengaspalan. Namun saat kunjunganku ke Tanjung Bira ini kami sepakat menyewa bus mini mengingat kami berangkat dengan rombongan yang cukup banyak.




Lokasi pembuatan kapal Phinisi
Selain menawarkan keindahan tebing-tebing pantai dan keindahan bawah air yang cukup spektakuler, di Tanjung Bira kita dapat melihat secara langsung proses pembuatan kapal phinisi yang merupakan kapal tradisional suku bugis. Kapal Phinisi ini simbol kebanggaan Indonesia, karena melalui kapal ini bangsa Indonesia di kenal sebagai pelaut ulung. Menurut babad “la galigo” (manuskrip sastra bugis abad 15) Raja Sawerigading membuat kapal untuk meminang putri raja Tiongkok, namun disaat perjalanan pulang kapal tersebut karam setelah menerjang badai di perairan Luwu. Sedangkan nama Phinisi sendiri baru muncul sekitar abad ke 17 di saat mulai banyak kapal-kapal dagang dan “galleon” dari Eropa berseliweran di perairan Nusantara. Kapal-kapal penjelajah Eropa disebut sebagai “pinnace” yang artinya terbuat dari kayu pohon “pine”, sehingga tidak heran pada akhirnya kapal asli suku Bugis disebut sebagai pinnace-nya Indonesia dan lambat laun menjadi kata Phinisi di lidah bangsa Indonesia.  Uniknya proses pembuatan kapal phinisi ini masih mempertahankan metode yang di gunakan sejak ratusan tahun lalu, hanya saja penggunaan paku dari besi dan peralatan mesin untuk mempercepat pengerjaan. Untuk melihat proses pembuatan kapal ini, selama perjalanan dari pelabuhan Bulukumba menuju Tanjung Bira coba tengoklah ke arah pantai, biasanya terdapat banyak sekali kapal-kapal Phinisi yang sedang di buat di sepanjang garis pantai tersebut.  Selain itu ada pula kampung masyarakat adat Amatoa yang memiliki ciri menggunakan baju hitam. Namun sayang disaat kunjunganku ke Tanjung Bira kali ini, aku masih belum sempat untuk mengunjungi kampung adat ini.




Warung bambu milik Rahman, DM bira divers
Tanjung Bira memiliki panorama yang tidak biasa. Tebing-tebing tinggi di pinggir pantai dan ditambah lagi pasir pantai yang benar-benar halus seperti bedak. Untuk urusan penginapan, Tanjung Bira menawarkan beragam tawaran, dari konsep rumah adat bugis yang cukup murah dengan kisaran Rp. 100.000,- permalam sampai “resort” dengan harga Rp. 600.000,- permalam. Untuk urusan makanan sebaiknya pilihan di jatuhkan kepada menu ikan bakar yang banyak di sajikan di warung-warung, atau mungkin mencoba makan malam di Amatoa resort. Meskipun rate menginap di tempat ini (Amatoa Resort) tergolong cukup mahal, namun untuk urusan makanan relatif terjangkau dan memiliki rasa yang sepadan dengan harga yang mereka tawarkan.




Foto bareng di depan dive center Bira Divers
Untuk kegiatan menyelam di Tanjung Bira, pilihan kami jatuhkan kepada Bira Divers, dimana pada saat itu merupakan satu-satunya Dive Center yang memiliki dive boat sesuai dengan standar dive activity. Namun yang perlu di ketahui, bahwa penyelaman di Tanjung Bira di dominasi dengan penyelaman di perairan berarus. Terutama penyelaman di pulau Kambing dan Liukang Slope yang arusnya terkenal angker. Oleh karenanya, untuk meyelam di Tanjung Bira sangat disarankan membawa safety sausage dan hook. Pengalaman pribadiku pada saat penyelaman terakhir di Liukang Slope, kami terkena down current dan harus berpegangan pada karang mati di kedalaman 16 meter disaat kami harus melakukan safety stop (kondisi tabung sudah mencapai sekitar 60 Bar). Akhirnya kami mengembangkan safety sausage dan bergelantungan pada tali dan pasrah pada jalannya arus. Guide kami dari Bira Divers dipersenjatai peralatan tambahan, yaitu handphone yang di masukan ke dalam pipa paralon yang tertutup rapat. Setelah mencapai permukaan HP tadi di keluarkan dan digunakan menelpon kru kapal untuk penjemputan. Sebab arus di Tanjung Bira terkadang mendorong penyelam sampai berkilo kilo dari pantai karenanya dibutuhkan peralatan komunikasi tambahan.

dive boat milik Bira Divers
Pada bulan Juni temperatur air di Tanjung Bira tergolong dingin sampai dengan kisaran 25 derajat celcius. Ada beberapa spot yang miskin karang, namun masih banyak di temukan daerah dengan tutupan karang yang padat. Menyelam di Tanjung Bira 70% kita bisa bertemu dengan ikan hiu whitetip, meski menurut guide kami, terkadang bisa bertemu threser shark jika kita benar-benar beruntung. Namun menyelam di Tanjung Bira merupakan pertama kalinya perjumpaanku dengan hewan ini di alam bebas.

GALERI










 
Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

0 komentar:

Posting Komentar