Meski pernah mengunjungi Pulau
Selayar, tapi baru di bulan Juni tahun 2013 aku baru mencoba untuk bermain-main
di Tanjung Bira Sulawesi Selatan, tepatnya masuk di Kabupaten Bulukumba.
Sebenarnya Tanjung Bira lebih terkenal daripada Selayar kalau untuk urusan
wisatanya, namun kunjunganku ke tempat ini justru kebalikannya. Oke langsung to the point yah, awalnya tujuan
main-main ke Tanjung Bira ini karena ada paket promo salah satu maskapai dari
Surabaya ke Makassar. Nah tanpa komando, rekan-rekan dari komunitas
scubadivingsurabaya.com (SDS) tiba-tiba banyak yang membeli tiket Surabaya –
Makassar pulang pergi (PP) tanpa
perencanaan mau kemana-kemananya. Setelah itu baru ribut-ribut cari spot diving
yang menarik. Setelah melalui proses pemikiran yang panjang, akhirnya kita
memutuskan trip ini hanya menyelam di tanjung Bira saja.
Menuju Tanjung Bira tidaklah
sulit. Dari Makasar kita bisa naik bus dari terminal Malengkeri tujuan Makasar
- Selayar dan turun di Tanjung Bira, atau kita bisa juga menaiki angkutan umum
yang biasa di sebut "pete-pete"dengan harga yang tidak terpaut jauh
dengan bus. Perjalanan dari Makasar menuju Tanjung Bira memakan waktu kurang
lebih 5-6 jam perjalanan dikarenakan ada sebagian jalan yang masih dalam proses
pengaspalan. Namun saat kunjunganku ke Tanjung Bira ini kami sepakat menyewa
bus mini mengingat kami berangkat dengan rombongan yang cukup banyak.
Lokasi pembuatan kapal Phinisi |
Selain menawarkan keindahan
tebing-tebing pantai dan keindahan bawah air yang cukup spektakuler, di Tanjung
Bira kita dapat melihat secara langsung proses pembuatan kapal phinisi yang
merupakan kapal tradisional suku bugis. Kapal Phinisi ini simbol kebanggaan
Indonesia, karena melalui kapal ini bangsa Indonesia di kenal sebagai pelaut
ulung. Menurut babad “la galigo” (manuskrip sastra bugis abad 15) Raja
Sawerigading membuat kapal untuk meminang putri raja Tiongkok, namun disaat
perjalanan pulang kapal tersebut karam setelah menerjang badai di perairan Luwu.
Sedangkan nama Phinisi sendiri baru muncul sekitar abad ke 17 di saat mulai
banyak kapal-kapal dagang dan “galleon”
dari Eropa berseliweran di perairan Nusantara. Kapal-kapal penjelajah Eropa disebut
sebagai “pinnace” yang artinya
terbuat dari kayu pohon “pine”, sehingga
tidak heran pada akhirnya kapal asli suku Bugis disebut sebagai pinnace-nya Indonesia dan lambat laun
menjadi kata Phinisi di lidah bangsa Indonesia. Uniknya proses pembuatan kapal phinisi ini masih
mempertahankan metode yang di gunakan sejak ratusan tahun lalu, hanya saja penggunaan
paku dari besi dan peralatan mesin untuk mempercepat pengerjaan. Untuk melihat
proses pembuatan kapal ini, selama perjalanan dari pelabuhan Bulukumba menuju
Tanjung Bira coba tengoklah ke arah pantai, biasanya terdapat banyak sekali
kapal-kapal Phinisi yang sedang di buat di sepanjang garis pantai tersebut. Selain itu ada pula kampung masyarakat adat
Amatoa yang memiliki ciri menggunakan baju hitam. Namun sayang disaat
kunjunganku ke Tanjung Bira kali ini, aku masih belum sempat untuk mengunjungi
kampung adat ini.
Warung bambu milik Rahman, DM bira divers |
Tanjung Bira memiliki panorama
yang tidak biasa. Tebing-tebing tinggi di pinggir pantai dan ditambah lagi
pasir pantai yang benar-benar halus seperti bedak. Untuk urusan penginapan,
Tanjung Bira menawarkan beragam tawaran, dari konsep rumah adat bugis yang
cukup murah dengan kisaran Rp. 100.000,- permalam sampai “resort” dengan harga Rp. 600.000,- permalam. Untuk urusan makanan
sebaiknya pilihan di jatuhkan kepada menu ikan bakar yang banyak di sajikan di
warung-warung, atau mungkin mencoba makan malam di Amatoa resort. Meskipun rate
menginap di tempat ini (Amatoa Resort) tergolong cukup mahal, namun untuk
urusan makanan relatif terjangkau dan memiliki rasa yang sepadan dengan harga
yang mereka tawarkan.
Foto bareng di depan dive center Bira Divers |
Untuk kegiatan menyelam di Tanjung
Bira, pilihan kami jatuhkan kepada Bira Divers, dimana pada saat itu merupakan
satu-satunya Dive Center yang
memiliki dive boat sesuai dengan standar
dive activity. Namun yang perlu di
ketahui, bahwa penyelaman di Tanjung Bira di dominasi dengan penyelaman di
perairan berarus. Terutama penyelaman di pulau Kambing dan Liukang Slope yang arusnya terkenal angker. Oleh
karenanya, untuk meyelam di Tanjung Bira sangat disarankan membawa safety sausage dan hook. Pengalaman pribadiku pada saat penyelaman terakhir di Liukang Slope, kami terkena down current dan harus berpegangan pada
karang mati di kedalaman 16 meter disaat kami harus melakukan safety stop (kondisi tabung sudah
mencapai sekitar 60 Bar). Akhirnya kami
mengembangkan safety sausage dan bergelantungan pada tali dan pasrah pada
jalannya arus. Guide kami dari Bira Divers dipersenjatai peralatan tambahan,
yaitu handphone yang di masukan ke
dalam pipa paralon yang tertutup rapat. Setelah mencapai permukaan HP tadi di
keluarkan dan digunakan menelpon kru kapal untuk penjemputan. Sebab arus
di Tanjung Bira terkadang mendorong penyelam sampai berkilo kilo dari pantai karenanya dibutuhkan peralatan komunikasi tambahan.
dive boat milik Bira Divers |
Pada bulan Juni temperatur air di Tanjung Bira
tergolong dingin sampai dengan kisaran 25 derajat celcius. Ada beberapa spot
yang miskin karang, namun masih banyak di temukan daerah dengan tutupan karang
yang padat. Menyelam di Tanjung Bira 70% kita bisa bertemu dengan ikan hiu whitetip, meski menurut guide kami,
terkadang bisa bertemu threser shark
jika kita benar-benar beruntung. Namun menyelam di Tanjung Bira merupakan pertama
kalinya perjumpaanku dengan hewan ini di alam bebas.
GALERI
0 komentar:
Posting Komentar